Thursday, May 12, 2016

Suami Istri Tidur Bersama di Satu Ranjang atau Terpisah?

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang berisi fatwa ulama yang menyatakan suami istri semestinya tidur di ranjang (tempat tidur) yang terpisah, karena tidur satu ranjang merupakan budaya barat. Benarkah ungkapan tersebut?

Memang sebagian ulama ada yang berpendapat demikian, diantaranya adalah guru kami Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah. Beliau membawakan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا دعا الرّجُل امرأته إلى فراشه فلم تأتِهِ فبات غضبانًا عليها لعنتهَا الملائكة حتّى تُصْبحَ

“Apabila suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak memenuhinya, kemudian suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri hingga waktu subuh” [HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436]

Setelah menyebutkan hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah berkata:

وهذا يدلُّ على: أنّ امتناع المرأة من إتْيَان زوجها في فراشه أمرُهُ عظيم وكبيروفي هذا الحديث أيضًا: دلالة على أنّ الرّجل والمرأة كانا على عهد النّبيّ -صلّى الله عليه وسلّم- وإلى عهدٍ قريب عندنا كلّ واحدٍ له فراش ما فيه سرير نوم يجمعهم جميع؛ كلّ واحدٍ له فراش كما قال النّبيّ -صلّى الله عليه وسلّم-:(فراشٌ لَك، وفراشٌ لأهلِكَ، وثالثٌ للشّيطان) فدلّ ذلك على: أنّ حياتهُم هذا مُنفصلٌ عن هذا، وهذا اليوم النّاس يرَوْنَه من الجفا وأنا أقول: في الحقيقة هُو بالعكس جالبٌ للمودّة؛ فإنّ إكثار المُلاصقة رُبّما ملّ الإنسان من الذي بجواره فإذا ابتعد عنه قليلاً كان له قيمة وله قدر؛ وهذا إنّما جاءنا من الغرب

“Hadits ini menunjukkan bahwa saat seorang wanita enggan mendatangi suaminya di ranjangnya, hal itu adalah perkara yang besar. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga zaman kita sekarang, masing-masing suami dan istri memiliki ranjang tempat tidur tersendiri, tidak tidur bersama di satu ranjang. Setiap orang memiliki ranjang tersendiri, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

فراشٌ لَك، وفراشٌ لأهلِكَ، وثالثٌ للشّيطان

“Satu ranjang untukmu dan satu ranjang untuk istrimu, yang ketiga adalah untuk setan.”[1]

Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan mereka berpisah (ranjang) satu sama lain. Pada hari ini, manusia menganggap hal itu sebagai perbuatan kaku, namun saya katakan: hakikatnya adalah sebaliknya, justru tidur berpisah ranjang akan mendatangkan kasih sayang. Karena seringnya berdekatan, terkadang akan menimbulkan kebosanan seorang terhadap pasangannya. Apabila keduanya agak berjauhan, akan ada nilai dan kesan tersendiri. Hal ini (tidur satu ranjang) hanyalah datang dari Barat…” [Syarh Al-Ibanah Ash-Shughra karya Ibnu Batthah]

Demikian ijtihad dari Asy-Syaikh hafizhahullah, namun yang benar adalah sebaliknya. Tidur satu ranjang bagi suami istri termasuk sunah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila ada udzur atau keperluan yang mengharuskan keduanya tidur di ranjang terpisah, maka insya Allah tidak masalah. Dalil yang menunjukkan disunahkannya tidur satu ranjang adalah hadits Aisyah dari berbagai jalur riwayat berikut:

[1] Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا..

“Aku tidur di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kedua kakiku berada di kiblat beliau. Apabila hendak sujud, beliau memegangiku lalu aku melipat kakiku. Apabila bangun dari sujud, aku kembali menghamparkan kakiku…” [HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512]

[2] Masih dalam riwayat Al-Bukhari dengan redaksi yang sedikit berbeda, Aisyah berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي ـ وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ ـ عَلَى الفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat dalam keadaan Aisyah berada diantara beliau dan kiblat di atas ranjang tempat beliau dan Aisyah tidur.” [HR. Al-Bukhari no. 384]

[3] Dalam riwayat Ahmad disebutkan dari Urwah bin Az-Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي ـ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ ـ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَرْقُدُ عَلَيْهِ هُوَ وَأَهْلُهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat dalam keadaan aku berada di antara beliau dan kiblat di ranjang  tempat beliau dan istrinya tidur. Apabila hendak shalat Witir, beliau membangunkanku, maka aku pun shalat Witir.” [HR. Ahmad no. 25.942 dan dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ats-Tsamar Al-Mustathab[2], 1/445]

Adapun riwayat Jabir yang berbunyi “satu ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk istrinya, (ranjang) yang ketiga untuk tamu dan (ranjang) yang kempat untuk setan”, hadits tersebut telah dijawab oleh para ulama dengan beberapa jawaban:

Pertama, hadits tersebut hanya menunjukkan bolehnya memiliki lebih dari satu ranjang dalam satu rumah. Hal itu merupakan bentuk bermegah-megahan yang diperbolehkan, bukan termasuk perbuatan israaf (berlebihan) yang dilarang.[3]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأمَّا تعديد الفراش للزوج والزوجة فلا بأس به، لأنه قد يحتاج كلُّ واحدٍ منهما إلى فراشٍ عند المرض ونحوِه وغيرِ ذلك

“Adapun berbilangnya ranjang tempat tidur untuk suami dan istri, hal itu tidak apa-apa. Terkadang masing-masing mereka membutuhkan ranjang tempat tidur tersendiri saat sakit dan keperluan lain yang semisal” [Syarh Muslim, 14/59]

Kedua, hadits tersebut menunjukkan bolehnya suami istri tidur di ranjang yang terpisah, apabila ada udzur yang menghalangi keduanya untuk tidur bersama, seperti sakit atau terjadi kesalah-pahaman di antara suami istri yang menimbulkan kebencian.

Dimaklumi bahwa kehidupan rumah tangga tidaklah semulus jalan tol. Di sana pasti ada rintangan, cobaan dan badai yang menimpa bahtera rumah tangganya.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

واستدلَّ بعضُهم بهذا [أي: حديث الفراش] على أنه لا يَلزمه النومُ مع امرأته، وأنَّ له الانفرادَ عنها بفراشٍ، والاستدلال به في هذا ضعيفٌ، لأنَّ المرادَ بهذا وقتُ الحاجة كالمرض وغيره كما ذكَرْنا، وإن كان النومُ مع الزوجة ليس واجبًا

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits Al-Firasy (hadits Jabir) untuk menyimpulkan bahwa suami tidak harus tidur bersama istrinya, ia boleh tidur di ranjang tersendiri. Sisi pendalilan mereka dengan hadits ini begitu lemah. Sebab kebolehan tidur di ranjang terpisah yang dimaksud dalam hadits adalah saat ada kebutuhan seperti sakit dan keperluan lain sebagaimana telah kami sebutkan, meskipun tidur bersama istrinya tidaklah wajib.” [Syarh Muslim, 14/60]

Ketiga, hadits Aisyah merupakan ashl (pokok) dalam permasalahan ini, sedangkan hadits Jabir merupakan pengecualian dari ashl, artinya pada asalnya suami istri tidur satu ranjang, namun diperbolehkan tidur di ranjang yang terpisah, apabila ada udzur dan kebutuhan (dikecualikan dari ashl).  

Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:

فالأصل أن يكون للرجل ولزوجته فراشٌ واحدٌ يجتمعان فيه؛ لأنه أدعى للتقارب وأدومُ للمحبَّة، وقد كان للنبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم فراشٌ واحدٌ في بيت عائشة رضي الله عنها ينامان عليه ليلًا ويجلسان عليه نهارًا

“Pada asalnya ranjang untuk suami dan istrinya adalah satu, di mana mereka berdua berkumpul (tidur) di atasnya. Sebab hal itu lebih mendatangkan kedekatan dan kecintan yang langgeng. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki satu ranjang di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau dan Aisyah tidur bersama di ranjang tersebut di malam hari, serta duduk-duduk bersama di ranjang tersebut siang harinya” [http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1171]

Keempat, diantara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidur bersama istrinya di satu ranjang tempat tidur. Kebiasaan ini beliau lakukan terus-menerus, sehingga hal itu merupakan sunnah yang diikuti.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

والصواب في النوم مع الزوجة أنه إذا لم يكن لواحدٍ منهما عذرٌ في الانفراد فاجتماعُهما في فراشٍ واحدٍ أفضل، وهو ظاهر فعلِ رسول الله صلَّى الله عليه وسلَّم الذي واظب عليه مع مواظبته صلَّى الله عليه وسلَّم على قيام الليل، فينام معها

“Yang benar bahwa tidur seranjang bersama istri lebih utama (afdhal), apabila salah satu dari pasangan tidak memiliki udzur yang mengharuskan mereka tidur di ranjang yang terpisah. Ini adalah zhahir perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau terus-menerus tidur satu ranjang bersama istrinya. Di saat Nabi terus-menerus melakukan shalat malam, beliau juga tidur bersama istrinya” [Syarh Muslim, 14/60]

Kelima, tidur seranjang antara suami istri merupakan bentuk pergaulan yang ma’ruf (baik). Hal itu lebih dapat menumbuhkan kedekatan, cinta dan kasih sayang yaitu di saat jasad mereka selalu bersua, di saat hati mereka selalu bertaut, di saat mata mereka saling memandang, di saat tubuh mereka saling berpelukan, di saat ada canda tawa yang mengiringi keduanya sebelum memejamkan mata. Bahkan di saat itu, terkadang ada tipe istri atau suami yang mengungkapkan keluh kesah kehidupan berumah-tangganya kepada yang lain, karena masing-masing mereka begitu sibuk bekerja di siang harinya sehingga tidak bisa bertemu kecuali di waktu tidur. Allahua’lam.   

Demikian ulasan yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad waalihi washahbihi.


Ditulis oleh Abul-Harits di pagi hari Kamis, 12 Mei 2016.[4]





[1] Saya belum  mengetahui sumber redaksi riwayat hadits yang dibawakan Asy-Syaikh hafizhahullah. Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi,

فِرَاشٌ لِلرَّجُلِ، وَفِرَاشٌ لِامْرَأَتِهِ، وَالثَّالِثُ لِلضَّيْفِ، وَالرَّابِعُ لِلشَّيْطَانِ

“Satu ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk istrinya, (ranjang) yang ketiga untuk tamu dan (ranjang) yang kempat untuk setan” [HR. Muslim no. 2084, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu]

[2] Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

سندٌ صحيحٌ على شرط الستَّة

“Sanadnya shahih sesuai syarat kutub sittah (Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah” [Ats-Tsamar Al-Mustathab, 1/445]

[3] Dinyatakan oleh Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadiir, 4/424

[4] Tulisan ini juga merupakan  kado pernikahan untuk Tante Treny dan suami yang pada hari ini Kamis, 12 Mei 2016 melangsungkan akad nikah di Purworejo. Mohon maaf, saya dan istri tidak bisa menghadiri acara pernikahan hari ini. Hanya teriring harapan dan doa, semoga cinta dan pernikahan kalian langgeng hingga maut memisahkan kalian dan hingga kalian bersua kembali di surga-Nya kelak insya Allah. [بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير]

No comments:

Post a Comment